Kecanggihan adalah suatu sifat yang berbahaya dan seringkali menipu. Yang tampaknya canggih - sopan, cerdik, cerdas, duniawi - sebenarnya bisa jadi sangat bodoh dan naif.
Kata itu menunjukkan kebijaksanaan (sofia). Tetapi jika diterapkan pada lulusan sekolah filsafat, kata tersebut dihubungkan dengan mencari uang dari mengajarkan kebijaksanaan dan dengan merumitkan serta memalsukan kemurnian kebenaran. Banyak lembaga pendidikan tinggi kita sekarang ini juga sangat canggih dan rumit organisasinya. Mereka mempunyai anggaran besar dan dijalankan dengan tujuan perolehan uang tetapi mereka tidak lagi membangkitkan dan memelihara cinta akan kebenaran dan semangat belajar siswanya.
Agama punya nasib yang sama dengan pendidikan ketika menjadi sangat canggih. Teologi yang njlimet, penyembahan menurut aturan Farisi, cara-cara penyembahan yang tidak manusiawi menggantikan spiritualitas sebenarnya.
Menjelang hari-hari terakhir masa Prapaskah, bacaan-bacaan kitab suci membawa kita lebih dalam memasuki kesadaran diri tentang Yesus yang nyata sungguh bijaksana namun tidak canggih. Inilah yang membuat Yesus luar biasa namun penuh perasaan yang pengalamannya mendunia dan sangat penting bagi lintas budaya. Kita mendengarkan sabda-Nya dengan penuh perhatian dan memandang dengan takjub akan kehidupan dan kematian-Nya bukan karena Dia berbicara dengan tutur kata halus dan lancar tetapi karena alasan-alasan lainnya.
Kecanggihan seringkali menutupi keraguan diri dan kebingungan yang kuat. Yesus adalah seorang guru semesta karena dia sangat jelas mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu Dia menyampaikan kesederhanaan dan kebenaran pribadinya sehubungan dengan semua pengalaman kebenaran itu sendiri. Orang seperti itu tampil mencolok karena mereka sepantasnya dipercaya. Sebaliknya, orang yang terlalu canggih suka mengejek dan tidak mempercayai apapun. Orang sederhana adalah prajurit yang senjata satu-satunya adalah kasih. Dengan alasan itu juga, mereka terlihat - dan ditolak - sebagai orang yang bodoh atau yang sangat berbahaya.
Meditasi bukan untuk orang-orang yang canggih. Untuk belajar bermeditasi kita perlu mempercayakan diri kita pada kesederhanaan murni dari kebenaran yang kita temui dari pengalaman kita sendiri. Bahkan melebihi kekuatan wawasan atau kata-kata bijak orang lain, dan jauh lebih dalam dari pada kecerdasan duniawi, yang merupakan penyatuan pengalaman diri kita sendiri inilah yang menjadikan kita hidup.