Ketika seluruh rakyat datang kepada-Nya, Ia duduk dan mengajar mereka.....Kemudian Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.....(Yohanes 8: 1-11)
Seperti halnya dengan Socrates dan Budha, Yesus mengajarkan secara lisan. Dia tidak meninggalkan buku ataupun risalat dan semua yang kita ketahui mengenai pengajaran-Nya adalah terjemahannya. Seakan tampaknya ada jarak besar antara Dia dan kita. Dalam beberapa hal memang demikian. Pada masa Yesus, kata-kata-Nya sangat mengena perasaan terdalam mereka, sedangkan kita bahkan tidak tahu secara tepat kata-kata yang sebenarnya Ia gunakan.
Namun bahayanya kemampuan keheningan Yesus ini mendekatkan kita dengan-Nya. Kata-kata yang kita dapatkan adalah sindiran yang arahnya ditunjukkan. Kata-kata tersebut menyampaikan pemikiran-pemikiran-Nya. Namun yang menarik hati adalah berkembangnya ikatan kasih menjadi pengikutnya yaitu keberadaannya yang hidup - melebihi sekedar kenangan sejarah maupun warisan kesusasteraan yang harus kita gali.
Firman memang penting dan berharga sekalipun demikian tidak berarti bila dibandingkan dengan roh kehadiran-Nya. Kekuatan kehadiranNya ini sekilas tampak dalam kisah wanita yang tertangkap berzinah (dan pria tak terlihat yang berhasil lolos darinya). Jika kesannya kisah ini kuno, kita hanya perlu mengingat saja keadilan balas dendam kelompok Taliban ketika harus menjalani hukuman sejenis ini sekarang.
Sekali waktu kita semua terjebak dalam perzinahan. Setidaknya, perzinahan yang disamakan Yesus sebagai tinggal dalam angan-angan dan khayalan, bukan secara khusus masalah seksual saja tetapi segala cara untuk lari dari kenyataan atau tanggung jawab. Ego kita, ketika marah sekali karena rasa malu atau menolak diri, seringkali ingin melempari batu pada diri kita yang lemah atau, mengalihkan pada diri orang lain sampai matinya.
Bukan kata-kata yang menyelamatkan kita dari nasib yang mengerikan ini melainkan kehadiran sebenarnya. Kehadiran ini tidak dapat dihilangkan atau diusir oleh perbuatan atau pikiran kita yang terburuk sekalipun. Kata-katanya ditulis di dasar jati diri kita, yaitu debu yang menjadikan diri kita semua dibentuk. Tetapi yang menjadikan kemarahan itu surut dan mereda adalah kekuatan dari kasih yang sejati, lembut, tak dapat dielakkan dan tak dapat disangkal.