Sakit gigi itu cukup menyiksa. Saat gigi masih sakit, rasa sakit fisik yang ekstrim tersebut menghalangi semua stimuli dunia, baik maupun buruk. Rasa sakit itu menjadi pusat bidang persepsi kita. Kita menjadi jengkel karena pikiran kita begitu terserap oleh sesuatu yang hanya kejadian sementara; dan juga karena membuat kita begitu terpusat pada diri sendiri. Kita mungkin berkata pada diri sendiri bahwa kejadian tersebut tidak akan berlangsung lama tetapi sementara kita melalui rasa sakit tersebut rasanya seperti seekor binatang manja yang mengharapkan seluruh perhatian kita.
Tentu saja tidak hanya sakit gigi. Duka cita mendalam atas kehilangan seseorang yang kita cintai juga membebani wilayah jantung dan menusuk ulu hati kita seperti halnya rasa sakit fisik. Tubuh adalah sakramen dan sarana untuk menyatakan kesadaran kita pada semua tingkat kesadaran.
Dan ketika mereka sedang makan, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku."
Pengalaman pengkhianatan seperti yang banyak dialami dalam perkawinan dan persahabatan juga merupakan penderitaan berat.
Darimana Yesus dapat mengetahui bahwa Dia akan dikhianati? Kita tidak tahu. Tetapi Dia menanggapinya dengan penguasaan diri. Dia tidak mengutuk Yudas seperti yang tampaknya dilakukan oleh beberapa penulis injil. Motif si pengkhianat tetap tersembunyi dan sulit untuk memaafkan tanpa mengetahui alasan seseorang yang kita percaya dan kasihi berbuat demikian.
Jika kita benar-benar memiliki pengetahuan itu, seperti yang pasti dimiliki oleh Yesus, kita akan memilih diam daripada mengutuk. Dan maaf akan memasuki sistem relasi kita yang rusak, bukan tuduhan.