"Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?" (Matius 25: 37)
Pada akhirnya, yang terpenting adalah apa yang kita lakukan, bukan apa yang apa yang kita pikir kita lakukan. Banyak orang relijius yang merasa bahwa sudah menjadi tugas mereka untuk membela Allah dari orang-orang yang tak bermoral yang menuduh atau membunuh karena mereka merasa sebagai orang yang paling mengenal Allah. Bagaimana seandainya Allah tersembunyi dalam diri orang lain? Bagaimana seandainya jika nama Allah tak dapat diucapkan, tenggelam dalam keheningan, menjadi satu dengan nama manusia kita? Bilamana kami melihat Engkau…? Engkau tidak menyebutkan nama-Mu. Kami tidak mengenali-Mu.
Nama itu ditemukan dalam diri orang lain karena Allah tidak pernah terpisah, Allah menjadi dasar keberadaan kita dan tidak dapat diberi nama.
Hanya dengan memasuki keheningan - keheningan yang mengalihkan pusat perhatian dari diri kita sendiri untuk masuk dalam ketidak tahuan - kita dapat menemukan Ada yang lain ini. Umat Kristiani yang sibuk bisa lupa bahwa memberi makan orang miskin, memberi pakaian orang yang telanjang dan menyambut orang asing adalah sebuah karya keheningan saat perhatian kita benar-benar tertuju pada mereka yang kita layani, bukan pada diri kita atau pada institusi yang ada di belakang kita. Dalam keheningan kasih yang semacam itu, 'penyedia jasa' dan 'pengguna jasa' dapat saling menghadirkan Allah. Dengan demikian nama-nama tanpa hati itu akan hanyut tersingkir.
Hanya dengan menemukan orang lain kita dapat menemukan diri kita sendiri.
Orang lain bisa menjadi ancaman yang membahayakan kita seperti perbedaan warna kulit, makanan, bahasa, pakaian atau tradisi yang berbeda. Sebaliknya, ketertarikan pada yang lain, dapat menimbulkan rasa takut untuk jatuh ke dalam perbedaan tersebut dan terserap di dalamnya - atau hanya sekedar menolaknya.
Tidak ada rasa sakit yang lebih parah daripada pengasingan penolakan secara emosional. Tidak ada sukacita yang lebih besar saat orang lain membalas senyum kita dengan tulus, mengenali anda dan mencari anda. Allah bukan merupakan pilihan lain/ alternatif bagi resiko dan rasa sakit dari relasi antar manusia. Allah adalah Kasih yang merupakan pijakan dasar dimana kita bertemu dan belajar dalam penderitaan untuk saling mengasihi.
"Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku."