"Dari seorang anak ilahi akan lahir sebuah bangsa dan seorang pahlawan yang akan memerintah dunia dan kemasyurannya akan tersebar ke seluruh bumi." Kata-kata yang berasal dari nyanyian orang-orang Tibet di abad ke tujuh. Ini menunjukkan betapa dalam dan universal harapan akan seseorang yang akan datang di antara kita dan memimpin kita, melampaui diri kita sendiri dan akhirnya menemukan diri kita sendiri. Seseorang yang kita tunggu ini bisa jadi orang yang kita kenal atau seorang asing.
Persiapan perayaan Natal lebih merupakan perayaan keagamaan, bercampur dengan budaya setempat. Tahun demi tahun kita mengulangi hal yang sama dan kebiasaan yang sama inilah yang menjadi intinya. Namun mereka kehilangan arti yang lebih mendalam di dalam hubungani kita dengan seseorang yang mewujudkan diri-Nya melampaui sejarah 'saat kini', setiap hari, dalam setiap tarikan napas. Seseorang yang asing namun sekaligus juga kita kenal. Dia seperti sebuah kalimat yang sarat arti dan dipilih dengan hati-hati atau sebuah pemikiran yang tidak diungkapkan dengan sembarangan atau tanpa sadar, sebaliknya dipikirkan ulang dan diucapkan dengan baik dan tepat – sebuah kata yang sejati dan penuh kuasa yang berasal dari keheningan sejati dan sekaligus membawa realitas keheningan itu..
'Meskipun telah menampakkan diri-Nya, Ia tetaplah asing' (Maximus the Confessor) dan 'dengan cara apapun Dia dikenal, Ia tetap misterius' (Dionisius Areopagite). Kedatangannya layak untuk ditunggu karena tidak hanya sekedar sebuah karunia pemberian dari luar. Kedatangannya membangkitkan kesadaran akan jati diri kita, membuat kita sadar akan karunia keberadaan kita. Kita mengenal Dia oleh karena Dia sepenuhnya manusia. Dia terasa asing karena kita tidak dapat menyelami keilahian-Nya. Ketika Dia dikenali dan ketika Dia masuk dalam relung jiwa kita, segalanya menjadi berubah oleh karena kita melihat segala sesuatu apa adanya.