Home
Kalender Kegiatan Komunitas
Renungan Prapaskah 2018
Bacaan Harian Bersama John Main
Daily Wisdom
Weekly Teaching
Newsletter
Renungan Bacaan Injil
Bahan Pengajaran
> > Bahasa Indonesia
> > Bahasa Inggris
Cara Bermeditasi
Pokok Pengajaran
Oblat WCCM
Kerabat Meditator


Acara Khusus
Jadwal Pertemuan
Kolom Tanya Jawab
Berita & Foto
Sharing
Kepustakaan
Tentang Kami
Hubungi Kami















Links:
Bahasa Inggris
* WCCM
* Programme | Bonnevaux Centre for Peace
* School of Meditation
* Christian Meditation for Priests












Renungan Bacaan Injil:

Selasa Minggu ke-4 Prapaskah (2013)

Saya sedang berbicara dengan seseorang tentang orang lain yang telah melukai hatinya. Dia berkata 'Aku bisa baik-baik saja dengannya sekarang. Tapi aku tidak akan pernah memaafkannya'. Pernyataannya : 'tidak akan pernah', bukannya 'tidak akan dapat'.

Saya terkesan dengan adanya pertentangan bahkan dengan bangga penegasannya tidak pernah memaafkan. Seolah-olah dia tahu bahwa dia mempunyai kemampuan untuk memaafkan, melepaskan dan melanjutkan. Namun, apapun alasannya, dia memilih untuk tinggal bersama pahit manisnya menyatu dengan perasaan dendam dan marah. Mungkin itu membuat kita merasa puas bermoral lebih hebat - 'Aku dipihak yang terlukai jadi aku selalu dipihak benar selama aku menunjukkan rasa dendam itu'. Mungkin juga tidak banyak kebebasan untuk memilih tidak memaafkan seperti sangkaan kita.

Jadi mengapa didunia ini kita lebih menyukai kesakitan dan hal-hal negatif masa lalu bukannya menembusnya dan bertumbuh melanjutkan dengan tenang bijaksana, belas kasihan dan kedalaman yang baru? Tidak ada alasan yang baik; tetapi kita selalu saja menemukan alasan. Siapakah yang dengan sengaja pernah melakukan suatu hal buruk tanpa melakukan pembelaan diri atau pembenaran untuk itu?

Selalu mudah untuk memoles yang tidak masuk akal dan merusak diri sebagai sesuatu yang masuk akal dan sehat. Meskipun membiarkan kemarahan dan dendam melekat pada diri kita hanya akan mengaburkan siapa diri kita dan mengurangi kemampuan kita untuk menjadi apa. Dalam kemanusiaan aku telah bersama aku pengertiannya adalah menciutkan. Pernyataannya - yang tidak masuk akal, menatap dengan sorot mata yang jahat - bukanlah suatu ungkapan yang jahat melainkan kecilnya rasa tanggung jawab.

Seperti anak bungsu dalam kisah anak yang hilang, bila kita turutkan kehendak kita dan kemudian jatuh sakit karena berlebihan, kita mengira kita pantas dihukum - oleh kelompok kita atau orang lain atau oleh Allah. Sepertinya kita tidak pantas untuk dimaafkan dan dipulihkan dalam hubungan dengan kesalahan yang telah kita lakukan. Tidak mengherankan,bila kita juga menerapkan pedoman keadilan sederhana yang sama pada orang lain. Ukuran yang kita terapkan pada diri kita akan dipakai menjadi ukuran pada orang lain.

Sebenarnya - seperti yang dapat diungkapkan disetiap meditasi kepada kita - kasih itu mengalir berlimpah tak terbatas. Pengampunan siap setiap saat. 'Kerajaan Allah sudah dekat' - itulah refren yang diucapkan setiap hari selama masa Prapaskah.

Oleh Laurence Freeman OSB


Lainnya:







Meditasi Kristiani Online:
Praktek dan Pengajaran Singkat
Six Week
Week 1:


Week 2:


Week 3

Week 4

Week 5

Week 6

Subscribe Youtube: Meditasi Kristiani Indonesia



YOUTUBE: